Pada masa pascakemerdekaan, Belanda melalui NICA yang membonceng Sekutu ke Indonesia melakukan upaya untuk memulihkan kembali kedudukan kolonial Belanda di wilayah Indonesia. Belanda melakukan berbagai tindakan untuk mewujudkan hal tersebut, baik melalui militer, diplomasi, dan sebagainya. Salah satu upaya Belanda dalam penguasaan kembali wilayah Indonesia ialah dengan merencanakan pendirian negara federasi. Pada tahun 1946, Belanda berencana membentuk Negara Indonesia Timur (NIT), di mana Kota Makassar sebagai pusat pemerintahannya. Hal ini tentu menimbulkan kontra dari pihak Indonesia, terutama para rakyat Sulawesi Selatan, khususnya Makassar yang tidak ingin berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Perlawanan dan pemberontakan pun terjadi di berbagai daerah di Sulawesi Selatan.
Foto: Koleksi infografis Palagan Makassar. (Sumber: Cipta Dewi).
Perlawanan rakyat dilakukan melalui pembentukan laskar-laskar yang kemudian membangun semangat juang rakyat Sulawesi Selatan, salah satunya ialah Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS). Dalam hal ini, pemerintah pusat memberikan bantuan kepada rakyat Sulawesi Selatan dengan mengirim pasukan tentara yang terbentuk dalam Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS). Melihat perlawanan rakyat yang semakin besar, pihak Belanda mengirim pasukannya yang bernama Depot Speciale Troepen (DST) untuk mengatasi perlawanan secara langsung, setelah pasukan KNIL yang tidak lagi mampu menghadapi perlawanan yang terjadi. Pasukan yang dipimpin oleh Raymond Pierre Paul Westerling tersebut kemudian datang ke Sulawesi Selatan dan melakukan metode atau strategi yang kejam, yakni dengan membantai para pejuang dan rakyat yang terlibat dalam perlawanan.
Pada tanggal 11 Desember 1946, Pemerintah Belanda menyatakan Staat van Oorlog en Beleg (SOB) atau keadaan perang di wilayah Sulawesi Selatan. Pasukan DST kemudian melakukan pembersihan di beberapa Afdeeling, yakni Afdeeling Makassar, Bonthain, Parepare, dan Majene. Adapun metode operasi militer yang dilakukan oleh Westerling dan pasukannya ialah seperti melakukan hukuman/eksekusi langsung terhadap para pejuang maupun rakyat biasa, di mana hal ini memakan banyak korban, bahkan hingga puluhan ribu nyawa dari pihak rakyat Sulawesi Selatan. Selanjutnya, pada 13 Januari 1947, pasukan DST dibagi menjadi dua kelompok untuk menumpas perlawanan di Afdeeling Parepare dan Mandar: Pasukan I dipimpin oleh Westerling, sementara Pasukan II dipimpin oleh Letnan Jan Vermeulen. Melalui pembantaian yang dilakukan pada tahun 1946-1947 ini Belanda dapat mengurangi pergerakan dari para pejuang, rakyat Sulawesi Selatan, dan TRIPS yang turut andil dalam pemberontakan.
Menanggapi terjadinya pembantaian skala besar yang dilakukan oleh Westerling, Pemerintah Indonesia berupaya untuk menangkap dan menjatuhi hukuman atau sanksi terhadap Westerling serta pasukannya. Namun, setelah adanya rencana penangkapan tersebut oleh Pemerintah Indonesia, Belanda berusaha melindungi Westerling dengan cara memecatnya dari satuan militer Belanda dan mengeluarkannya dari wilayah Indonesia menuju ke Singapura pada tanggal 22 Februari 1950, sehingga Westerling dapat terbebas dari hukuman atas pembantaian yang telah dilakukan. (Cipta Dewi Adicandra)
Referensi:
Anrawira Franata. (2023). Strategi Operasi Militer Pasukan Depot Speciale Troepen (DST) di Sulawesi Selatan 1946-1947. (Skripsi Sarjana, Universitas Hassanudin).
Rafi Zain Yusuf, Ridwan Melay, dan Bunari. (2017). Pembantaian Raymond Pierre Paul Westerling di Sulawesi Selatan sebagai Upaya Belanda Mendirikan Negara Indonesia Timur (1946-1947). Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 4(1), 1-10.